|
Kabar kabari |
Kegiatan kita |
Dilema kaum minoritas
|
Bias Nelda |
DILEMA KAUM MINORITAS : ISLAM SOLUSI TEPAT[1] Oleh:Ulya Fikriyati[2]
Minoritas apa dan mengapa?
Istilah minoritas dalam kebudayaan dan masyarakat modern disunting dari istilah asing, yang dimulai semenjak terjadinya clash peradaban antara Islam dan Barat. Istilah tersebut mengandung arti rasialisme, etnisisme dan fasisme yang melekat pada budaya Barat. Istilah minoritas digunakan oleh orang-orang yang menganggap dirinya atau orang lain berada dalam kesamaan ciri karakteristik yang membedakannya dengan kelompok lain. Maka istilah minoritas dalam peradaban Barat bukan semata-mata minoritas dari segi kwantitas atau politik, melainkan minoritas yang memiliki identitas budaya yang berbeda dengan identitas spesifik budaya masyarakat mayoritas. Diantara hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam khasanah Islam klasik termasuk didalamnya khasanah keagamaan, peradaban, dan sejarah tidak pernah mengenal istilah minoritas dalam konteks pengertian Barat. Islam hanya mengenal istilah minoritas dari segi etimologisnya saja yaitu minoritas kwantitatif. Jika saja kita mau mengupas lebih jauh, maka kita akan menemukan banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan kelompok mayoritas maupun minoritas, hanya saja kelompok minoritas terkesan lebih aktif dibandingkan dengan kelompok mayoritas. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih ( QS. Saba’ : 13 ) 2. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, dan amat sedikitlah mereka ini ( QS. Shaad : 24 ) 3. Berapa banyak terjadi golongan minoritas dapat mengalahkan golongan mayoritas dengan izin Allah ( QS. Al-Baqarah : 249 )
Maka kedua istilah minoritas dan mayoritas hanya digunakan dalam artian banyak atau sedikit dari segi kwantitas saja tanpa adanya reduksi-reduksi dalam penggunaan istilah itu. Minoritas diungkapkan melalui kriteria-kriteria yang disepakati dan dirujuk bersama baik oleh kelompok minoritas ataupun mayoritas. Pujian, cercaan, aktif, pasif, penerimaan dan penolakan merupakan unsur-unsur pembentuk identitas serta sikap dan tidak ada pengaruhnya dalam konteks kwantitas baik mayoritas maupun minoritas. Jika kita menillik kembali QS.al-Rum:22 dimana Allah berfirman: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnnya pada yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Begitu juga dalam QS al-Maidah ayat 48 “Untuk tiap-tiap umat dari kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Dia hendak menguji kamu dengan pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allahlah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan” maka kita akan paham dan mengerti bahwa Allah sebagai Tuhan seru sekalian alam sengaja menciptakan makhluk-Nya dalam berbagai macam suku, ras dan etnis. Sedangkan kita tidak dapat memungkiri bahwa perbedaan tersebut pasti akan mengakibatkan lahirnya kelompok mayoritas dan minoritas dalam arti yang sebenarnya. Bertolak dari kedua ayat inilah Islam memandang prularitas sebagai hal yang lumrah dan sesuai dengan sunnatullah terlepas dari istilah minoritas ataupun mayoritas dalam pengertian Barat. Inilah perspektif Islam mengenai pembahasan istilah-istilah pemahaman yang tidak tereduksi dengan istilah dan pemahaman dalam konteks peradaban Barat. Karena sejak kemunculannya Islam telah memerankan diri dalam bentuk gerakan reformasi terhadap konsep-konsep yang berkembang dalam mengatur hubungan masyarakat, suku dan agama pada saat itu.
Kaum Minoritas dalam Lembaran Sejarah IslamAkhir-akhir ini kita menemukan banyak sekali tindakan-tindakan anarkhis yang disulut oleh sebab perbedaan SARA (suku, ras dan agama) padahal hal tersebut tidak seharusnya terjadi. Sebagaimana yang kita simak sepanjang sejarah, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah mempermasalahkan kaum minoritas apalagi mengesampingkan mereka. Bahkan Rasul sendiri bersabda “Sesungguhnya bagi kaum non-muslim (sebagai kelompok minoritas saat itu) semua hal yang boleh dilakukan oleh kaum muslimin, begitu pula bagi mereka larangan atas apa yang dilarang untuk kaum muslimin, sehingga keduanya (muslim dan non-muslim) berserikat dalam semua hal baik yang diperbolehkan ataupun yang dilarang”. Sabda Rasulullah ini merupakan bukti konkrit bahwa Islam tidak pernah membedakan para pemeluknya sebagai kelompok mayoritas dan pemeluk agama lainnya sebagai kelompok minoritas. Bukti-bukti lain tentang hal tersebut dapat kita lihat dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang akan kami ketengahkan berikut ini:
1. Penandatangan deklarasi perjanjian perdamaian dan integrasi kaum Nasrani Najran dibawah kekuasaan pemerintah Islam. Adapun diantara isi perjanjian tersebut adalah : ”Bagi seluruh warga Najran, umat Nasraninya dan semua pemeluk agama Nasrani selain warga Najran hak mendapat perlindungan dari Allah dan Rasulullah, karena itu aku (Muhammad) bertanggung jawab atas harta, jiwa dan agama mereka begitu juga atas keluarga, perdagangan serta segala apa yang ada dalam genggaman tangan mereka baik itu sedikit atau banyak ….disamping itu aku juga akan menjaga keberadaan mereka, memelihara gereja-gereja, tempat-tempat peribadatan, kediaman para pendeta, tempat-tempat pariwisata dan eksistensi mereka dimanapun mereka berada baik itu didarat ataupun dilaut, diujung timur dunia ataupun di tepi Barat, sebagaimana aku menjaga diriku sendiri serta umatku………”
2. Penetapan Piagam Madinah yang diantara isinya memuat ketetapan-ketetapan mengenai umat Yahudi (sebagai kaum minoritas pada saat itu). Didalam Piagam tersebut disebutkan bahwasanya kaum minoritas merupakan unsur pembentuk pokok yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat majemuk. Adapun kutipan naskah Piagam Madinah tersebut adalah sebagai berikut:
“Umat Yahudi akan hidup berdampingan dengan umat Islam, bagi orang-orang Yahudi agama mereka, begitu juga bagi orang-orang Islam agama mereka. Bagi siapa saja dari umat Yahudi yang mengikuti kami maka atas merekalah keselamatan, mereka tidak akan dizalimi ataupun diperangi. Umat Yahudi harus turut serta dalam pendanaan perang bersama-sama dengan umat Islam. Keduanya (umat Islam dan Yahudi) harus memerangi pihak manapun yang mengganggu salah satu pihak yang menandatangani Piagam ini, selain itu keduanya harus saling menasehati dan berbuat baik bukan sebaliknya…………..”[3]
3. Jika kedua contoh yang lalu menerangkan bagaimana tindakan Islam atas kaum minoritas secara umum, maka dalam kehidupan tiap-tiap individupun Islam cukup memberikan keluwesan. Hal ini dapat kita lihat dari diperbolehkannya kaum muslimin menyunting gadis-gadis ahlu al-kitab. Dihalalkannya pernikahan ini merupakan bukti riil atas begitu indah dan tolerannya ajaran Islam kepada umat-umat non Islam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mohammad ‘Abduh “Betapa agung dan indah buah dari pernikahan antara seorang muslim dan wanita ahlu al-kitab, dimana kita dapat menyaksikan hangatnya hubungan kekerabatan antara anak-anak dengan para bibi dan paman mereka serta seluruh sanak saudara mereka dari kedua ibu bapak mereka yang berlainan agama.” [4]
Ketiga petikan peristiwa sejarah diatas kiranya cukup untuk membuktikan bahwa Islam merupakan “Rahmatan Li al-Alamin”. Singkat kata selama Islam menjadi mayoritas maka kaum minoritas akan tetap aman sentosa, tetapi belum tentu jika sebaliknya yaitu tatkala umat Islam menjadi kaum minoritas. Hal ini sudah terbukti dengan tercatatnya lembaran-lembaran hitam nasib para kaum minoritas ketika penguasa dan kaum mayoritas saat itu bukanlah umat Islam. Sebagai perbandingan kita dapat membuka kembali catatan sejarah bagaimana orang-orang Romawi memonopoli semua kekuasaan dan kemuliaan hanya untuk bangsa Romawi. Mereka menganggap semua bangsa selain bangsa Romawi sebagai bangsa Barbar yang sama sekali tidak mempunyai hak untuk diberlakukan atasnya hukum-hukum Romawi. Bukan hanya itu merekapun tidak berhak untuk menganut suatu agama dan kepercayaan yang mereka yakini selain agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pembesar-pembesar Romawi. Yang lebih tidak berperi kemanusiaan lagi mereka memburu, mengejar, menyiksa bahkan membantai habis semua penganut agama selain yang mereka anut baik itu dari umat monotheis seperti penganut sekte Milkana dan Jacobism dari umat Nasrani dan Yahudi ataupun umat polytheisme seperti penganut animisme dan dinamisme. Adapun contoh yang lebih nyata dapat kita saksikan bagaimana orang-orang kafir Mekah menyiksa para muslimin di awal kemunculan Islam, tapi umat Islam tidak pernah menuntut balas atas darah yang telah tertumpah setelah Islam berjaya di Madinah. Bahkan sebaliknya Islam selalu berusaha merangkul semua agama untuk membentuk sebuah negara yang terrdiri dari berbagai macam masyarakat yang majemuk. Adapun al-Qur’an sendiri sebagai sumber acuan umat Islam telah banyak menyebutkan perintah untuk menghormati umat non Islam. Diantara ayat-ayat tersebut :
1. لا إكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغى (البقرة :256) 2. فمن شاء فليؤمن و من شاء فليكفر (الكهف : 29) 3. اليوم أحل لكم الطيبات و طعام الدين أوتوا الكتاب حل لكم و طعامكم حل لهم (المائدة : 5)
Islam As The Best Choice and Solution
Setelah kita mencermati semua hal yang bersangkutan dengan masalah minoritas, maka selanjutnya kita akan dihadapkan pada dua solusi utama untuk menyelesaikan masalah minoritas ini. Solusi pertama adalah solusi yang diajukan oleh para penganut paham sekuler yang selanjutnya dikenal dengan secularist solution. Paham sekuler ini menyuguhkan beberapa solusi alternatif diantaranya adalah : 1. Sistem sosialis-marxis[5]:
Dimana semua manusia disama ratakan dengan persamaan dalam arti seluas-luasnya tanpa memandang tinggi, rendah, kaya, miskin, pejabat ataupun rakyat kecil, sehingga tidak akan terjadi clash antar suku, ras dan agama yang disebabkan oleh kefanatikan tiap-tiap anggotanya. Tetapi justru hal inilah yang menyebabkan negara-negara penganut sistem sosialis-marxis ini sulit untuk berkembang, apalagi untuk memberikan jaminan atas kaum minoritas yang ada dinegara mereka. Sebagai tambahan data kita dapat menengok negara Libanon yang menganut hukum sekuler. Ternyata di sana terhitung banyak sekali pengaduan-pengaduan umat Islam dan Druzes tentang ketidak adilan perlakuan yang mereka terima dalam hal jabatan kenegaraan[6]. Bagaimana bisa kita menyamakan hal-hal yang memang pada hakekatnya berbeda, padahal perbedaan bukanlah untuk dimusnahkan tetapi perbedaan itu untuk dinikmati.
2. Atheisme:[7]
Paham ini dianut oleh negara-negara komunis yang tidak mempercayai adanya Tuhan dan agama apapun, sehingga tidak akan terjadi perselisihan antar agama atau lebih tepatnya antara kaum mayoritas dan minoritas. Tetapi paham inipun tidak mampu menjamin kesejahteraan kaum minoritas. Hal tersebut terbukti dengan terus berkurangnya kwantitas kaum muslimin sebagai kaum minoritas di negara-negara komunis semisal Uni Sovyet (Rusia) dan RRC. Salah satu penyebab terus berkurangnya prosentase umat Islam disana adalah penyiksaan dan pembantaian masal yang sayangnya tidak begitu saja diketahui oleh dunia. Sehingga dari realita ini paham kedua yang disuguhkan oleh para sekuleris tidak dapat kita jadikan pegangan untuk menyelesaikan masalah kaum minoritas.
Dengan begitu dua solusi yang disuguhkan oleh para sekuleris untuk menangani masalah minoritas tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Maka sekaranglah saatnya bagi kita untuk beralih pada satu-satunya solusi tepat yaitu solusi yang ditawarkan oleh Islam seperti yang telah kita bahas pada bagian terdahulu.
Dalang Dibalik Problematika Kaum Minoritas
Tidak etis rasanya jika kita membicarakan masalah minoritas tanpa membahas lebih lanjut siapakah dalang dari semua masalah yang berhubungan dengan minoritas. Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, atau semenjak kekuatan Zionis mulai bertengger di tanah Palestina seorang orientalis-zionis Bernard Lewis mengumumkan langkah-langkah cepat untuk mengobrak-abrik kekuatan umat Islam, yaitu dengan memanfaatkan keberadaan kaum minoritas.[8] Yang menjadi agenda utama adalah bagaimana melemparkan umat Islam sehingga benar-benar terpuruk dan tidak berdaya dengan memanfaatkan kaum minoritas. Karena menurut mereka terpuruknya Islam merupakan jaminan atas keamanan dan keberadaan eksistensi Zionisme. Rancangan langkah-langkah kolonialis-zionis ini sudah semakin didalami dan diaplikasikan dibawah komando David Goryoun(1886 – 1973), Mousa Shareet(1894 – 1965) dan Mousa Dian di abad 20 ini. Proyek ini dimulai dari kaum Maronite sebagai kaum minoritas di Libanon.Dalam catatannya Shareet menuliskan : 1. Pentingnya terus menguatkan keinginan kelompok minoritas untuk memisahkan diri dari pemerintahan Islam, semakin cepat proses disintegrasi tersebut maka akan semakin baik. 2. Menyulut api yang telah menyala dikalangan kelompok minoritas Nasrani untuk menggiring mereka pada tuntutan pemisahan diri dari pemerintahan sah Islam. Karena dengan hanya menggerakkan kelompok minoritas kita telah melakukan tindakan dan langkah aktif.[9]
Adapun bukti lain yang lebih otentik dapat kita lihat dari pernyataan Dewan Zionis Internasional “Jatuhnya Libanon merupakan gambaran mutlak bahwa negara-negara Arab lainnya seperti Mesir, Syiria, Irak dan Jazirah Arabia akan dapat segera ditaklukkan, sedangkan Libya dan Sudan akan segera menyusul setelah itu. Jika saja Mesir jatuh maka semua negara Arab pasti akan jatuh!!!. Sasaran selanjutnya adalah Syria dan Irak, tetapi Irak lebih diprioritaskan karena Irak lebih kuat dari Syria, dimana kekuatan Irak menjadi ancaman besar bagi Zionis dan Israel. Untuk Jazirah Arabia cukup kiranya dengan menekannya baik dari dalam ataupun luar negeri. Setelah itu giliran Yordania, karena ia menempati letak yang cukup strategis untuk pengembangan Zionisme selanjutnya.[10] Semua strategi dan siasat ini tidak akan pernah terlaksana selamanya tanpa memanfaatkan kelompok minoritas. Tetapi hal ini hanyalah akan menjadi impian para zionis, selama kita bersatu, saling memahami dan menghormati kaum minoritas.
[1] Makalah ini dipresentasikan pada diskusi rutin Nel-Daroyn 2002 pada tgl 28 Juni 2003 [2] Mahasiswi S1 Fak Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo Mesir [3] Dikutip dari, DR. M.Hamidullah el-Haedar Abadi, Majmu’ al-Wastaiq al-Siyasiyah Li al-‘Ahdi al-Nabawy Wa al-Khilafah al-Rasyidah (Kairo,Tab’ah el-Qohiroh, 1956)h 17 [4] Disarikan dari, Mohammad ‘Abduh, al-A’mal al-Kamilah (Kairo,Tab’ah el-Qohiroh, 1993) jil 3, h 312 [5] Musthafa al-Faqi, Tajdid al-Fikr al-Qaumi (Kairo, Dar al-Shorouk, 1999), h.13 [6] Yusuf Qordhowi, al-Aqolliyat al-Diniyyah Wa al-Hall al-Islamy, (Beirut, al-Maktabah al-Islamiyah, 1998), h.25 [7] Ibid, h.26 [8] Mohammad Imarah, al-Islam Wa al-Aqolliyat al-Madhi Wa al-Hadhir Wa al- Mustaqbal, (Kairo, Dar al-Shorouk, 2003), h.34 [9] Mohammed el-Samak, al-Aqolliyat Baina al-Arubah Wa al-Islam, (Beirut, tp, 1990), h.131 [10] Ibid, h.140
|